KURIKULUM pesantren
unggulan dengan kualitas alumninya banyak memberi kontribusi terhadap kemajuan
bangsa Indonesia, walau demikian status pesantren agaknya
terkesampingkan daripada lembaga pendidikan formal lainnya. Kendati
demikian, pesantren tetap kokoh berdiri dengan kemandiriannya tanpa
intervensi dari pemerintah. Sehingga memiliki bergaining position
(posisi tawar) yang menarik ditengah-tengah ‘percaturan’ pendidikan
nasional. Yang pada akhirnya pesantren banyak dibicarakan oleh lembaga
pemerintah untuk diberi perhatian.
Terlepas dari kekurangan, nilai-nilai yang ditanamkan di pesantren terbukti membuahkan hasil dengan prestasi alumninya yang berdedikasi dan loyalitas tinggi walaupun selepas mesantren mereka berkarier dan menjadi orang besar. Mereka tetap bekerja secara profesional dengan menjunjung tinggi nilai kesederhanaan, memiliki ukhuwah yang tinggi, disiplin serta berani memperjuangkan nilai-nilai moral-spiritual karena prinsip yang ditanamkan di pesantren pada dasarnya untuk mengabdi pada agama dan bangsa.
Produk pesantren yang berkontribusi terhadap bangsa, antara lain adalah Gus Dur, Prof Mahfud MD, Dr Hidayat Nurwahid, Dr Hasyim Muzadi, Prof Said Aqil Siradj, Prof Dien Syamsudin, Prof Jimly As-Shiddiqi, dan masih banyak tokoh lain alumni pesantren yang berkontribusi terhadap perkembangan negara dan bangsa ini. Pesantren menarik perhatian banyak kalangan, meskipun kurikulumnya berbeda dengan kurikulum pendidikan lainnya.
Interaksi santri
Asrama adalah wadah untuk mengaktualisasikan tiga pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Di dalam pesantren terbentuk tiga komponen sekaligus sebagai proses pembelajaran peserta didik. Interaksi santri sebagai peserta didik dengan gurunya, pengurusnya, dan kyainya terwujud dalam satu lingkungan yang mencakup keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kyai atau guru mengemban posisi sebagai pendidik sekaligus pemimpin keluarga yang mendidik serta mengajarinya ilmu pengetahuan, nilai moral, dan humanisme dengan harapan berguna dalam kehidupan bermasyarakat.
Kumpulan santri dalam asrama saling berinteraksi dan bersosial sehingga membentuk masyarakat dengan suasana keakraban, kemudian terbentuk suatu peradaban. Tiga pusat pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat) memberi efek dominan dalam pembentukan kualitas (pengetahuan dan moral) peserta didik.
Perbedaan mendasar antara pesantren dan lembaga pendidikan lainnya adalah dinamika kehidupan dalam pesantren terjalin lebih harmonis ketimbang yang lainnya. Sehingga, dapat kita simpulkan dengan pertanyaan ini adakah santri yang berdemo kepada pengasuhnya dan melakukan tawuran dengan pesantren lainnya?
Disadari atau tidak kualitas mental alumni pesantren lebih unggul dibandingkan lembaga pendidikan lainnya baik akademis maupun moral. Jejak kehidupan pesantren yang terekam dalam kurikulumnya menginformasikan bahwa eksistensi pesantren adalah proses pendidikan yang sebenarnya.
Pesantren dengan dinamikanya membuat peserta didiknya tidak memikirkan hal semacam tawuran dan berdemo. Berdemo adalah hal yang tidak terpikirkan dalam benak mereka. Sebab, kedudukan kyai atau pengasuhnya sebagai figur sentral serta sebagai pemimpin keluarga layaknya orang tua bagi anak yang mengikat dalam satu ikatan batin.
Demo dan tawuran adalah karena minusnya silaturrahim dan komunikasi yang baik. Hampir tidak kita jumpai tawuran antarpesantren.
Silaturrahim dan kedekatan komunikasi yang terjalin baik tidak mungkin akan terjadi demikian (tawuran dan demo). Dalam bahasa kelakarnya titik pembeda antara lembaga pendidikan formal dan pesantren adalah yang satu suka tawuran dan yang satu lagi suka bersilaturrahmi.
Eksistensi pesantren unggulan
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang menerapkan kurikulum 24 jam dan tidak menjanjikan ijazah sebagai posisi di atas segala-galanya. Eksistensi pesantren sebagai basis terkuat yang berkontribusi bagi bangsa ini. Adalah karena mampu melahirkan alumnus yang berkualitas dan berbudi pekerti luhur. Keunikan pesantren tidak dimiliki selainnya karena fokus pesantren terhadap nilai-nilai kemasyarakatan, moral dan spiritual sebagaimana yang tersusun dalam kurikulum.
Dinamika pesantren di bawah asuhan kyai sebagai figur sentral, dan pengurus pesantren membantu kyai dalam proses belajar mengajar. Ketiga-tiganya (kyai, pengurus pesantren, dan santri) berinteraksi selama 24 jam dari tidur sampai tidur lagi dalam satu lingkungan. Secara tidak langsung dalam satu ruang dan waktu lembaga tersebut berhasil menciptakan keluarga, sekolah, dan masyarakat sekaligus.
Selain belajar, pesantren memberikan fasilitas untuk mengembangkan skill dan leadership yakni dengan kegiatan pengelolaan pesantren melalui fasilitas-fasilitas pesantren seperti koperasi, bakti sosial, dan kegiatan lainnya yang membangkitkan kreatifitas peserta didik atau santri. Diharapkan dengan fasilitas-fasilitas tersebut para santri menemukan dan memiliki skill masing-masing agar dapat menjadi bekal hidupnya tanpa berharap besar untuk menjadi pegawai.
Fenomena masyarakat terhadap orientasi pendidikan berseberangan dengan orientasi yang diterapkan dalam pesantren. Karena pada umumnya bersekolah berorientasi untuk selembar Ijazah tanpa memenuhi standar kompetensi dan kualifikasi atau ‘asal-asalan’. Sehingga tidak sedikit yang menganggur setelah menyelesaikan jenjang pendidikannya, perlu diketahui bahwa hakikat pendidikan sejatinya adalah menemukan dan mengembangkan potensi dirinya dan menumbuhkembangkan kreativitas dan moral spiritual dalam jiwa masing-masing untuk kemajuan bangsa.
Sesungguhnya yang dibutuhkan bangsa kita adalah pendidikan yang mendidik peserta didiknya untuk memajukan bangsa dalam berbagai bidang. Sekali lagi kemandirian pesantren dan alumninya adalah bukti yang sebanding dengan orientasi pendidikan yang ‘nyata’ ditanamkan dalam dinamika pesantren dengan sistem yang sedemikian rupa sebagai proses pendewasaan diri serta sebagai wahana untuk mendidik karakter anak bangsa dan sebagai lembaga pendidikan yang peduli terhadap kemajuan bangsa.
Maka pesantren layak dijadikan solusi untuk meningkatkan Indeks Prestasi Manusia (IPM) Indonesia dan sepantasnya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah berupa perhatian dan kesempatan yang sama, seperti pendidikan formal lainnya untuk bersama-sama mengatasi keterpurukan pendidikan tanah air karena berdasarkan United Nation Development Program (UNDP) 2011 survei IPM posisi pendidikan Indonesia berada pada posisi 124 dari peringkat IPM 187 negara dan berada pada urutan ke lima di tingkat ASEAN. Nah!
* Muhammad Khaerul Muttaqien, Alumni Islamic Training Teachers College Darussalam Gontor, dan Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Terlepas dari kekurangan, nilai-nilai yang ditanamkan di pesantren terbukti membuahkan hasil dengan prestasi alumninya yang berdedikasi dan loyalitas tinggi walaupun selepas mesantren mereka berkarier dan menjadi orang besar. Mereka tetap bekerja secara profesional dengan menjunjung tinggi nilai kesederhanaan, memiliki ukhuwah yang tinggi, disiplin serta berani memperjuangkan nilai-nilai moral-spiritual karena prinsip yang ditanamkan di pesantren pada dasarnya untuk mengabdi pada agama dan bangsa.
Produk pesantren yang berkontribusi terhadap bangsa, antara lain adalah Gus Dur, Prof Mahfud MD, Dr Hidayat Nurwahid, Dr Hasyim Muzadi, Prof Said Aqil Siradj, Prof Dien Syamsudin, Prof Jimly As-Shiddiqi, dan masih banyak tokoh lain alumni pesantren yang berkontribusi terhadap perkembangan negara dan bangsa ini. Pesantren menarik perhatian banyak kalangan, meskipun kurikulumnya berbeda dengan kurikulum pendidikan lainnya.
Interaksi santri
Asrama adalah wadah untuk mengaktualisasikan tiga pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Di dalam pesantren terbentuk tiga komponen sekaligus sebagai proses pembelajaran peserta didik. Interaksi santri sebagai peserta didik dengan gurunya, pengurusnya, dan kyainya terwujud dalam satu lingkungan yang mencakup keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kyai atau guru mengemban posisi sebagai pendidik sekaligus pemimpin keluarga yang mendidik serta mengajarinya ilmu pengetahuan, nilai moral, dan humanisme dengan harapan berguna dalam kehidupan bermasyarakat.
Kumpulan santri dalam asrama saling berinteraksi dan bersosial sehingga membentuk masyarakat dengan suasana keakraban, kemudian terbentuk suatu peradaban. Tiga pusat pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat) memberi efek dominan dalam pembentukan kualitas (pengetahuan dan moral) peserta didik.
Perbedaan mendasar antara pesantren dan lembaga pendidikan lainnya adalah dinamika kehidupan dalam pesantren terjalin lebih harmonis ketimbang yang lainnya. Sehingga, dapat kita simpulkan dengan pertanyaan ini adakah santri yang berdemo kepada pengasuhnya dan melakukan tawuran dengan pesantren lainnya?
Disadari atau tidak kualitas mental alumni pesantren lebih unggul dibandingkan lembaga pendidikan lainnya baik akademis maupun moral. Jejak kehidupan pesantren yang terekam dalam kurikulumnya menginformasikan bahwa eksistensi pesantren adalah proses pendidikan yang sebenarnya.
Pesantren dengan dinamikanya membuat peserta didiknya tidak memikirkan hal semacam tawuran dan berdemo. Berdemo adalah hal yang tidak terpikirkan dalam benak mereka. Sebab, kedudukan kyai atau pengasuhnya sebagai figur sentral serta sebagai pemimpin keluarga layaknya orang tua bagi anak yang mengikat dalam satu ikatan batin.
Demo dan tawuran adalah karena minusnya silaturrahim dan komunikasi yang baik. Hampir tidak kita jumpai tawuran antarpesantren.
Silaturrahim dan kedekatan komunikasi yang terjalin baik tidak mungkin akan terjadi demikian (tawuran dan demo). Dalam bahasa kelakarnya titik pembeda antara lembaga pendidikan formal dan pesantren adalah yang satu suka tawuran dan yang satu lagi suka bersilaturrahmi.
Eksistensi pesantren unggulan
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang menerapkan kurikulum 24 jam dan tidak menjanjikan ijazah sebagai posisi di atas segala-galanya. Eksistensi pesantren sebagai basis terkuat yang berkontribusi bagi bangsa ini. Adalah karena mampu melahirkan alumnus yang berkualitas dan berbudi pekerti luhur. Keunikan pesantren tidak dimiliki selainnya karena fokus pesantren terhadap nilai-nilai kemasyarakatan, moral dan spiritual sebagaimana yang tersusun dalam kurikulum.
Dinamika pesantren di bawah asuhan kyai sebagai figur sentral, dan pengurus pesantren membantu kyai dalam proses belajar mengajar. Ketiga-tiganya (kyai, pengurus pesantren, dan santri) berinteraksi selama 24 jam dari tidur sampai tidur lagi dalam satu lingkungan. Secara tidak langsung dalam satu ruang dan waktu lembaga tersebut berhasil menciptakan keluarga, sekolah, dan masyarakat sekaligus.
Selain belajar, pesantren memberikan fasilitas untuk mengembangkan skill dan leadership yakni dengan kegiatan pengelolaan pesantren melalui fasilitas-fasilitas pesantren seperti koperasi, bakti sosial, dan kegiatan lainnya yang membangkitkan kreatifitas peserta didik atau santri. Diharapkan dengan fasilitas-fasilitas tersebut para santri menemukan dan memiliki skill masing-masing agar dapat menjadi bekal hidupnya tanpa berharap besar untuk menjadi pegawai.
Fenomena masyarakat terhadap orientasi pendidikan berseberangan dengan orientasi yang diterapkan dalam pesantren. Karena pada umumnya bersekolah berorientasi untuk selembar Ijazah tanpa memenuhi standar kompetensi dan kualifikasi atau ‘asal-asalan’. Sehingga tidak sedikit yang menganggur setelah menyelesaikan jenjang pendidikannya, perlu diketahui bahwa hakikat pendidikan sejatinya adalah menemukan dan mengembangkan potensi dirinya dan menumbuhkembangkan kreativitas dan moral spiritual dalam jiwa masing-masing untuk kemajuan bangsa.
Sesungguhnya yang dibutuhkan bangsa kita adalah pendidikan yang mendidik peserta didiknya untuk memajukan bangsa dalam berbagai bidang. Sekali lagi kemandirian pesantren dan alumninya adalah bukti yang sebanding dengan orientasi pendidikan yang ‘nyata’ ditanamkan dalam dinamika pesantren dengan sistem yang sedemikian rupa sebagai proses pendewasaan diri serta sebagai wahana untuk mendidik karakter anak bangsa dan sebagai lembaga pendidikan yang peduli terhadap kemajuan bangsa.
Maka pesantren layak dijadikan solusi untuk meningkatkan Indeks Prestasi Manusia (IPM) Indonesia dan sepantasnya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah berupa perhatian dan kesempatan yang sama, seperti pendidikan formal lainnya untuk bersama-sama mengatasi keterpurukan pendidikan tanah air karena berdasarkan United Nation Development Program (UNDP) 2011 survei IPM posisi pendidikan Indonesia berada pada posisi 124 dari peringkat IPM 187 negara dan berada pada urutan ke lima di tingkat ASEAN. Nah!
* Muhammad Khaerul Muttaqien, Alumni Islamic Training Teachers College Darussalam Gontor, dan Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar